pak Ci beserta pak Harun Hajadi memperlihatkan maket gedung UC apartement kepada para undangan
Jumat, 22 Agustus 2008. Satu lagi fasilitas UC dibangun, untuk memenuhi kebutuhan para mahasiswa Universitas Ciputra yang energik dan modern maka Ciputra Grup membangun satu lagi fasilitas kampus UC yaitu UC Apartment. Mengusung tema A Vibrant Student Living, diharapkan dengan terus dikembangkannya fasilitas-fasilitas kampus UC ini yang sebelumnya telah membangun juga kampus UC tahap II ini maka segala kebutuhan para mahasiswa khususnya dan para penghuni komplek CitraRaya pada umumnya dapat terpenuhi. Berkeley Tower merupakan gedung apartemen pertama yang dibangun dari lima gedung UC apartment keseluruhannya, Berkley Tower ini menawarkan 500 unit dengan 3 jenis apartemen yaitu jenis Studio, jenis 2 Bed Room dan terakhir 3 Bed Room.
Paduan Suara Mahasiswa UC menyanyikan Hyme UC
Acara Grand Launching UC apartment ini dikemas secara apik dan sangat menarik dengan menghadirkan bintang tamu Donita (bintang sinetron dan penyanyi) dan Indonesian Idol 2008 yaitu Gisel dan Aris. Tepat pukul 10.00, bapak DR. (H.C) Ir. Ciputra beserta istri tercinta yaitu ibu Dian Sumeler berikut jajaran direksi grup Ciputra datang ke tempat acara Ground Breaking UC apartment ini. Acara ini dibuka oleh penampilan dari Paduan Suara UC yang menyanyikan Hymne UC dan dilanjukan dengan sajian menarik dari para mahasiswa Tourism & Hotel Management (THM) yang menampilkan musik perkusi dari alat-alat dapur dan ditabuh secara rancak harmonis.
Penampilan musik perkusi dari mahasiswa THM UC
Pada kesempatan ini, bapak DR.(H.C) Ir. Ciputra mengutarakan secara gamblang dan bersemangat tujuan dari adanya Universitas Ciputra dan dibangunnya fasilitas-fasilitas pendukung untuk memenuhi kebutuhan para mahasiswa yang akan dicetak menjadi entrepreneur-entrepreneur kelas dunia. Beliau menjelaskan bahwa untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan dan kemiskinan dibutuhkan entrepreneur atau pengusaha, minimal 2% dari jumlah penduduk negara Indonesia adalah entrepreneur untuk dapat mengentas negara ini dari kemiskinan dan menjadi negara maju. Saat ini di Indonesia jumlah lulusan S1 yang menganggur sudah mencapai angka 750.000, di Indonesia 1 lowongan pekerjaan diperebutkan 500 orang. Beliau juga mencoba membandingkannya dinegara tetangga, di Perth Australia lulusan perguruan tinggi dapat diterima di 50 tempat pekerjaan. Disini sangat nyata terlihat bahwa negara kita sangat membutuhkan entrepreneur atau pengusaha yang dapat membuka lapangan pekerjaan bukan hanya pencari pekerjaan.
Secara simbolik peresmian UC apartment ground breaking dengan menekan tombol sirine
Pada pukul 11.00 secara resmi pembangunan UC apartment dimulai, secara simbolik dengan menekan tombol sirine oleh bapak DR. (H.C) Ir. Ciputra dan Ibu Dian Sumeler berikut jajaran direksi Grup Ciputra. Turut hadir juga para pimpinan dari pemerintahan kota Surabaya dan pemerintahan daerah Jawa Timur di acara Grand Launching UC apartment ini, juga hadir para kepala sekolah SMA negeri dan swasta Jawa Timur yang merupakan sekolah-sekolah kerjasama dari Universitas Ciputra.
Setelah meresmikan UC Apartment, bapak DR. (H.C) Ir. Ciputra beserta jajaran direksi grup ciputra melakukan campus visit atau kunjungan ke kampus UC dengan para undangan yang hadir. Pada lantai 4 kampus UC, bapak DR. (H.C) Ir. Ciputra beserta jajaran direksi grup ciputra dan undangan di suguhi pameran karya-karya mahasiswa UC mulai dari program studi International Business Management (IBM), Tourism & Hotel Management (THM), Information Technology (IFT), Visual Communication Design (VCD) dan Psychologi (PSY). Setelah mengunjungi pameran di lantai 4, secara khusus untuk program studi Interior Design (IND) bapak DR. (H.C) Ir. Ciputra beserta jajaran direksi grup ciputra dan undangan mengunjungi IDez (Interior Design entrepreneurial Zone). Khusus untuk program studi Interior Design memang membutuhkan suatu lingkungan dan zona khusus untuk dapat menghasilkan dan memamerkan hasil karya Interior para mahasiswanya. Lingkungan dan zona ini dinamakan Interior Design Entrepreneurial Zone (IDez). Setelah campus visit atau kunjungan kampus melihat pameran karya mahasiswa UC, para undangan kembali ke tempat acara untuk acara selanjutnya yang masih banyak hingga malam hari dan akan ditutup dengan penampilan Indonesian Idol Gisel dan Aries.
Acara ramah tamah dengan para kepala sekolah Surabaya dan Malang di Paliman Resto - Ciputra Golf & Klub Keluarga Lain halnya dengan undangan khusus untuk para kepala sekolah dari sekolah-sekolah kerjasam UC, yang secara khusus dapat bercengkerama sambil makan siang bersama pak Ci panggilan akrab dari Bpk. DR.(H.C) Ir. Ciputra ini. Lunch Gathering yang dilakukan di ruang VIP 2 di Ciputra Golf Family Club lantai 2 ini berlangsung sangat akrab, pak Ci berbincang-bincang dengan santai sambil mendengarkan perkembangan pendidikan yang dilakukan dari tiap sekolah di Surabaya dan Malang yang dituturkan satu persatu oleh para Kepala Sekolah dari sekolah-sekolah kerjasama ini. Beliau juga menekan bahwa penting sekali peranan pendidikan entrepreneurial sejak dini khususnya di tingkat sekolah menegah, karena di tingkat itu para murid sekolah dapat ditanamkan semangat kewirausahaan sejak awal. Hampir 1,5 jam lamanya acara lunch gathering ini tidak terasa sudah berjalan, karena pak Ci beserta keluarga harus istirahat untuk mempersiapkan acara selanjutnya yang masih sangat padat seperti peresmian Via and Vue Ciputra World di jalan Mayjen Sungkono Surabaya yang juga dilakukan pada tanggal 22 hingga 24 Agustus ini. Acara ini ditutup dengan foto bersama para kepala sekolah di area padang golf sebagai latar belakangnya.
Selasa, 02 September 2008
40 Miryard Untuk Anggaran Kewirausahaan Di Perguruan Tinggi
Pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp40 miliar untuk mendorong lahirnya wirausahawan muda dari kalangan perguruan tinggi selama 2008."Dana itu untuk pembangunan kapasitas termasuk pemberian `grant` bagi dosen dan mahasiswa yang ingin mengembangkan kewirausahaan," kata Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Fasli Jalal, di sela-sela peringatan hari ulang tahun ke-3 Masyarakat Entrepreneur Indonesia (MEI) di Jakarta, Rabu.Menurut Fasli, sekitar dua pertiga dari program tersebut dialokasikan untuk bantuan dana proyek wirausaha yang diajukan kelompok mahasiswa dan dosen perguruan tinggi seluruh Indonesia."Jadi, universitas yang punya proposal tentang bagaimana mendukung kewirausahaan serta kemampuan mahasiswa berwirausaha akan diberi dana sekitar Rp5 juta per kelompok," jelasnya.Saat ini, pihaknya masih melakukan melakukan penilaian terhadap proposal yang diajukan oleh pihak universitas dan kelompok yang berhak menerima hibah itu baru akan diumumkan sekitar bulan Agustus ini."Nanti tahun 2009, kita mau mengakses lebih banyak mahasiswa untuk program ini," ujarnya.Fasli mengatakan pengembangan jiwa wirausaha tidak dapat dilakukan dengan pemberian teori dalam kelas, namun harus didahului dengan praktek berwirausaha yang diikuti dengan teori bisnis."Untuk itu, kami juga mendorong tumbuhnya koperasi di setiap kampus yang melibatkan mahasiswa serta unsur perguruan tinggi lainnya, agar mahasiswa bisa belajar wirausaha," ujarnya.Ketua Umum MEI Arfan Sofan menyambut baik dukungan pemerintah tersebut. MEI menargetkan tumbuhnya satu juta wirausahawan baru. Selama tiga bulan awal 2008, MEI telah memberikan pelatihan kewirausahaan terhadap sekitar seribu pelajar dan mahasiswa. Salah satu program yang dijalankan MEI antara lain pelatihan pendampingan usaha mikro dan kecil bagi pelajar dan mahasiswa.Dengan program tersebut, pelaku usaha mikro dan kecil akan mendapatkan pendampingan dalam mengakses sumber pembiayaan dari perbankan khususnya skim Kredit Usaha Rakyat (KUR), sementara pelajar dan mahasiswa dapat belajar kewirausahaan.(*)
Rabu, 13 Agustus 2008
Kewirausahaan
KEWIRAUSAHAAN, SEBAGAI SEBUAH NILAI
KOLOM: ENTREPRENEURSHIP’S COMMON SENSE:JUDUL : KEWIRAUSAHAAN, SEBAGAI SEBUAH NILAIOleh: Rusman HakimDewasa ini, dunia kewirausahaan (kewiraswastaan) tampaknya sudah mulai diminati oleh masyarakat luas. Namun, karena kurangnya informasi, banyak orang merasa masih belum jelas tentang aspek-aspek apa saja yang melingkupi dunia wiraswasta. Sebagian orang beranggapan bahwa kewiraswastaan adalah dunianya kaum pengusaha besar dan mapan, lingkungannya para direktur dan pemilik PT, CV serta berbagai bentuk perusahaan lainnya. Oleh karena itu, kewirawastaan sering dianggap sebagai wacana tentang bagaimana menjadi kaya. Sedang kekayaan itu sendiri seakan-akan merupakan simbol keberhasilan dari kewiraswastaan.Bukan hanya sebagian masyarakat awam yang berpikir demikian, karena ternyata beberapa lembaga pembinaan kewiraswastaan juga mempunyai persepsi yang mirip dengan itu. Pada beberapa kesempatan, lembaga-lembaga tersebut menampilkan figur tokoh-tokoh sukses yang katanya berhasil menjadi kaya, dengan jalan berwiraswasta. Figur sukses itu antara lain terdiri dari tokoh-tokoh pengusaha besar yang masyarakat mengenalnya sebagai orang-orang terkemuka yang dekat dengan para pejabat pemerintahan.Terlepas dari siapa tokoh-tokoh sukses dan kaya yang ditampilkan itu, serta bagaimana cara mendapatkan kekayaannya, marilah kita kembali ke inti persoalan : “Benarkah kewiraswastaan merupakan wacana tentang bagaimana caranya untuk menjadi kaya ?”Kalau bicara sekadar menjadi kaya, tentu semua orang maklum bahwa tidak semua orang kaya adalah pengusaha, sebaliknya tidak semua pengusaha adalah orang kaya. Rata-rata pejabat di Indonesia sudah termasuk orang kaya atau orang berada, apalagi kalau pejabat itu korup. Karyawan-karyawan swasta, terutama para general manager dan direktur juga banyak yang kaya. Bahkan, ada pengemis jalanan berpenghasilan lebih dari Rp. 300.000,- bersih per hari, dan jelas bahwa ia berpotensi untuk menjadi kaya. Dapatkah mereka semua, termasuk para koruptor dan pengemis, menjadi figur panutan dalam wacana kewirausahaan ? Rasanya tidak lah ya..?Kewiraswastaan atau kewirausahaan sebenarnya bukanlah bertujuan untuk menjadi kaya. Setidaknya inilah yang dekemukakan oleh para perintis kewiraswastaan di Indonesia sejak 3 dekade yang lalu. Merintis masa depan dengan belajar menjadi pengusaha lebih mirip dengan belajar bagaimana mengemudikan kendaraan. Seorang instruktur pada sebuah sekolah mengemudi mobil pernah berkata pada para siswanya, yang dalam praktek selalu berusaha untuk menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi : “Keterampilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Karena memacu kecepatan adalah hal yang mudah. Itu hanya soal seberapa dalam kita menginjak pedal gas. Ilmu mengemudi lebih merupakan keterampilan bagaimana menjalankan mobil dari keadaan tidak bergerak, menjadi bergerak dan berjalan dengan stabil, serta bermanuver dengan baik sesuai keadaan, berbelok, maju, mundur, parkir, menanjak, menurun dan lain sebagainya, tanpa membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Kecepatan adalah soal lain..”Apa yang dikatakan sang instruktur memang benar. Keberhasilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Demikian pun keadaannya dengan kewiraswastaan. Keberhasilan berwiraswasta tidaklah identik dengan seberapa berhasil seseorang mengumpulkan uang atau harta serta menjadi kaya, karena kekayaan bisa diperoleh dengan berbagai cara, termasuk mencuri, merampok, korupsi, melacur dan lain-lain perbuatan negatif. Sebaliknya kewiraswastaan lebih melihat bagaimana seseorang bisa membentuk, mendirikan serta menjalankan usaha dari sesuatu yang tadinya tidak berbentuk, tidak berjalan bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Seberapa kecil pun ukuran suatu usaha, jika dimulai dengan niat baik, cara-cara yang bersih, keberanian dan kemandirian, sejak dari nol dan kemudian bisa berjalan dengan baik, maka nilai kewiraswastaannya jelas lebih berharga, daripada sebuah perusahaan besar yang dimulai dengan bergelimang fasilitas, penuh kolusi serta sarat dengan keculasan.Dalam kewiraswastaan, kekayaan menjadi relatif sifatnya. Ia hanya merupakan produk bawaan (by-product) dari sebuah usaha yang berorientasi kearah prestasi. Prestasi kerja manusia yang ingin mengaktualisasikan diri dalam suatu kehidupan mandiri. Ada pengusaha yang sudah amat sukses dan kaya, tapi tidak pernah menampilkan diri sebagai orang yang hidup bermewah-mewah, dan ada juga orang yang sebenarnya belum bisa dikatakan kaya, namun berpenampilan begitu glamor dengan pakaian dan perhiasan yang amat mencolok. Maka soal kekayaan pada akhirnya terpulang kepada masing-masing individu. Keadaan kaya-miskin, sukses-gagal, naik dan jatuh merupakan keadaan yang bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan seorang pengusaha, tidak peduli betapapun piawainya dia. Kewiraswastaan hanya menggariskan bahwa seorang wiraswastawan yang baik adalah sosok pengusaha yang tidak sombong pada saat jaya, dan tidak berputus asa pada saat jatuh.Tidak ada satu suku kata pun dari kata “wiraswasta” yang menunjukkan arti kearah pengejaran uang dan harta benda, tidak pula kata wiraswasta itu menunjuk pada salah satu strata, kasta, tingkatan sosial, golongan ataupun kelompok elit tertentu.Terkadang orang tidak menyadari bahwa “wiraswasta” tidak sama dengan “swasta” dan “orang swasta” tidak dengan sendirinya merupakan wiraswastawan sejati, meskipun mungkin yang bersangkutan menyatakan diri begitu.. Ini disebabkan “wiraswasta” mengandung kata “wira”, yang mempunyai makna luhurnya budi pekerti, teladan, memiliki karakter yang baik, berjiwa kstaria dan patriotik. Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa seorang wiraswastawan sejati selalu memegang etika sebaik-baiknya dalam berbisnis.Orang swasta yang berhasil mengumpulkan harta berlimpah, tidak dapat dikatakan sebagai wiraswastawan sejati, selama harta yang dikumpulkannya itu didapat dengan jalan yang tidak benar seperti kolusi, memeras, menipu, mafia-isme dan lain-lain aktivitas sejenis.Saya menemukan bahwa kadang-kadang terjadi salah pengertian tentang istilah “kewiraswastaan” yang merupakan terjemahan dari kata asing “entrepreneurship”. Ada pendapat bahwa kewiraswastaan tidak hanya terjadi dikalangan orang atau perusahaan swasta saja, tetapi juga ada dilingkungan perkoperasian, lingkungan pendidikan bahkan dilingkungan badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN). Oleh karenanya, “entrepreneurship” bukan monopoli kelompok perusahaan swasta saja. Maka kemudian timbul istilah “wirausaha” yang dianggap lebih universal dalam penerapannya. Gejala ini berlanjut lebih spesifik lagi dengan munculnya istilah “kewirakoperasian” untuk para aktivis koperasi.Saya berpendapat, istilah “wiraswasta” tidak hanya menunjuk kepada orang-orang dari kalangan perusahaan swasta. Sebagai istilah yang mewakili kata “entrepreneurship”, penggunaannnya sudah sangat universal, sehingga sebetulnya tidak perlu lagi direvisi. Secara etimologi, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Suparman Sumahamidjaya, arti kata wiraswasta bisa diuraikan lebih kurang sebagai berikut :wira = luhur, berani, jujur, ksatria.swa = sendiri.sta = berdiri.Jadi, maksud dari kata wiraswasta adalah, mewujudkan aspirasi kehidupan berusaha yang mandiri dengan landasan keyakinan dan watak yang luhur. Lebih spesifiknya, kaum wiraswastawan sejati adalah mereka yang berani memutuskan untuk bersikap, berpikir dan bertindak secara mandiri, mencari nafkah dan berkarir dengan jalan berusaha di atas kemampuan sendiri, dengan cara yang jujur dan adil, jauh dari sifat-sifat keserakahan dan kecurangan.Definisi di atas tidak membatasi bahwa wiraswastawan harus seorang yang menjalankan perusahaan milik sendiri. Dengan demikian kewiraswastaan berlaku di lingkungan manapun, termasuk koperasi, BUMN, pengusaha kaki lima, makelar bahkan di lingkungan karyawan sekalipun. Sebab apa? Karena kaum profesional yang status formalnya adalah seorang karyawan, pada hakikatnya merupakan seorang wiraswastawan juga, karena mereka bekerja dengan menjual “leadership”, atas dasar kemitraan bisnis yang adil dan saling menguntungkan, dan bukan atas dasar keinginan untuk “menumpang hidup” semata. Para distributor dari sebuah perusahaan multi-level-marketing, sebagaimana agen-agen asuransi, juga merupakan pribadi-pribadi yang berusaha secara mandiri dan mereka berwiraswasta. Beberapa perusahaan yang telah maju ternyata juga didirikan oleh para mantan karyawan yang memiliki naluri kewiraswastaan. Hal ini menguatkan bukti bahwa nilai-nilai kewiraswastaan memang ada dimana-mana. Hanya saja, kewirawastaan ada yang kelihatan secara jelas, ada yang tersembunyi.Betapa pun saya menyambut baik munculnya berbagai istilah alternatif, karena hal tersebut dengan sendirinya akan memperkaya khasanah kosakata bahasa Indonesia yang masih memerlukan pembinaan-pembinaan lebih jauh. Sebab itu, dalam situs ini akan dipergunakan istilah “wiraswasta” dan “wirausaha” secara silih berganti, agar tidak menimbulkan kejenuhan.Beberapa aktivitas yang memiliki kandungan nilai kewirausahaan, baik yang jelas maupun yang tersembunyi bisa dicontohkan sebagai berikut :1). Pengusaha-pengusaha “kantoran” yang menjalankan perusahaan milik sendiri atau bermitra. Baik dari kelas pengusaha besar, menengah ataupun kecil.2). Pengusaha-pengusaha seperti pedagang kaki lima, warung nasi, restoran, toko klontong, bengkel, salon dan lain-lain.3). Pengusaha candak kulak, seperti bakul jamu, tukang bakso pikul/grobak, dan lain sebagaiya.4). Pengurus dan anggota-anggota koperasi.5). Tokoh-tokoh pemasaran, seperti para direktur dan manajer pemasaran, sales representative, business representative, salesmen/girl door to door.6). Para distributor multi-level-marketing serta para agen asuransi.7). Tokoh-tokoh profesi seperti dokter, pengacara, notaris, konsultan yang membuka praktik sendiri, sampai supir taksi.8). Mereka yang menjalankan bisnis sambilan, tanpa melecehkan pekerjaan utamanya sebagai karyawan.9). Para karyawan, yang sambil bekerja, berusaha mengumpulkan modal dan belajar untuk mempersiapkan diri menjadi pengusaha nantinya.10). Para makelar yang jujur.11). Kaum profesional yang menjual leadership pada perusahaan-perusahaan besar mulai dari yang menjabat sebagai presiden direktur, direktur atau manajer.12). Pekerja free-lance, instruktur-instruktur aerobik, pelatih olahraga yang bekerja waktu penuh.
KOLOM: ENTREPRENEURSHIP’S COMMON SENSE:JUDUL : KEWIRAUSAHAAN, SEBAGAI SEBUAH NILAIOleh: Rusman HakimDewasa ini, dunia kewirausahaan (kewiraswastaan) tampaknya sudah mulai diminati oleh masyarakat luas. Namun, karena kurangnya informasi, banyak orang merasa masih belum jelas tentang aspek-aspek apa saja yang melingkupi dunia wiraswasta. Sebagian orang beranggapan bahwa kewiraswastaan adalah dunianya kaum pengusaha besar dan mapan, lingkungannya para direktur dan pemilik PT, CV serta berbagai bentuk perusahaan lainnya. Oleh karena itu, kewirawastaan sering dianggap sebagai wacana tentang bagaimana menjadi kaya. Sedang kekayaan itu sendiri seakan-akan merupakan simbol keberhasilan dari kewiraswastaan.Bukan hanya sebagian masyarakat awam yang berpikir demikian, karena ternyata beberapa lembaga pembinaan kewiraswastaan juga mempunyai persepsi yang mirip dengan itu. Pada beberapa kesempatan, lembaga-lembaga tersebut menampilkan figur tokoh-tokoh sukses yang katanya berhasil menjadi kaya, dengan jalan berwiraswasta. Figur sukses itu antara lain terdiri dari tokoh-tokoh pengusaha besar yang masyarakat mengenalnya sebagai orang-orang terkemuka yang dekat dengan para pejabat pemerintahan.Terlepas dari siapa tokoh-tokoh sukses dan kaya yang ditampilkan itu, serta bagaimana cara mendapatkan kekayaannya, marilah kita kembali ke inti persoalan : “Benarkah kewiraswastaan merupakan wacana tentang bagaimana caranya untuk menjadi kaya ?”Kalau bicara sekadar menjadi kaya, tentu semua orang maklum bahwa tidak semua orang kaya adalah pengusaha, sebaliknya tidak semua pengusaha adalah orang kaya. Rata-rata pejabat di Indonesia sudah termasuk orang kaya atau orang berada, apalagi kalau pejabat itu korup. Karyawan-karyawan swasta, terutama para general manager dan direktur juga banyak yang kaya. Bahkan, ada pengemis jalanan berpenghasilan lebih dari Rp. 300.000,- bersih per hari, dan jelas bahwa ia berpotensi untuk menjadi kaya. Dapatkah mereka semua, termasuk para koruptor dan pengemis, menjadi figur panutan dalam wacana kewirausahaan ? Rasanya tidak lah ya..?Kewiraswastaan atau kewirausahaan sebenarnya bukanlah bertujuan untuk menjadi kaya. Setidaknya inilah yang dekemukakan oleh para perintis kewiraswastaan di Indonesia sejak 3 dekade yang lalu. Merintis masa depan dengan belajar menjadi pengusaha lebih mirip dengan belajar bagaimana mengemudikan kendaraan. Seorang instruktur pada sebuah sekolah mengemudi mobil pernah berkata pada para siswanya, yang dalam praktek selalu berusaha untuk menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi : “Keterampilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Karena memacu kecepatan adalah hal yang mudah. Itu hanya soal seberapa dalam kita menginjak pedal gas. Ilmu mengemudi lebih merupakan keterampilan bagaimana menjalankan mobil dari keadaan tidak bergerak, menjadi bergerak dan berjalan dengan stabil, serta bermanuver dengan baik sesuai keadaan, berbelok, maju, mundur, parkir, menanjak, menurun dan lain sebagainya, tanpa membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Kecepatan adalah soal lain..”Apa yang dikatakan sang instruktur memang benar. Keberhasilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Demikian pun keadaannya dengan kewiraswastaan. Keberhasilan berwiraswasta tidaklah identik dengan seberapa berhasil seseorang mengumpulkan uang atau harta serta menjadi kaya, karena kekayaan bisa diperoleh dengan berbagai cara, termasuk mencuri, merampok, korupsi, melacur dan lain-lain perbuatan negatif. Sebaliknya kewiraswastaan lebih melihat bagaimana seseorang bisa membentuk, mendirikan serta menjalankan usaha dari sesuatu yang tadinya tidak berbentuk, tidak berjalan bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Seberapa kecil pun ukuran suatu usaha, jika dimulai dengan niat baik, cara-cara yang bersih, keberanian dan kemandirian, sejak dari nol dan kemudian bisa berjalan dengan baik, maka nilai kewiraswastaannya jelas lebih berharga, daripada sebuah perusahaan besar yang dimulai dengan bergelimang fasilitas, penuh kolusi serta sarat dengan keculasan.Dalam kewiraswastaan, kekayaan menjadi relatif sifatnya. Ia hanya merupakan produk bawaan (by-product) dari sebuah usaha yang berorientasi kearah prestasi. Prestasi kerja manusia yang ingin mengaktualisasikan diri dalam suatu kehidupan mandiri. Ada pengusaha yang sudah amat sukses dan kaya, tapi tidak pernah menampilkan diri sebagai orang yang hidup bermewah-mewah, dan ada juga orang yang sebenarnya belum bisa dikatakan kaya, namun berpenampilan begitu glamor dengan pakaian dan perhiasan yang amat mencolok. Maka soal kekayaan pada akhirnya terpulang kepada masing-masing individu. Keadaan kaya-miskin, sukses-gagal, naik dan jatuh merupakan keadaan yang bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan seorang pengusaha, tidak peduli betapapun piawainya dia. Kewiraswastaan hanya menggariskan bahwa seorang wiraswastawan yang baik adalah sosok pengusaha yang tidak sombong pada saat jaya, dan tidak berputus asa pada saat jatuh.Tidak ada satu suku kata pun dari kata “wiraswasta” yang menunjukkan arti kearah pengejaran uang dan harta benda, tidak pula kata wiraswasta itu menunjuk pada salah satu strata, kasta, tingkatan sosial, golongan ataupun kelompok elit tertentu.Terkadang orang tidak menyadari bahwa “wiraswasta” tidak sama dengan “swasta” dan “orang swasta” tidak dengan sendirinya merupakan wiraswastawan sejati, meskipun mungkin yang bersangkutan menyatakan diri begitu.. Ini disebabkan “wiraswasta” mengandung kata “wira”, yang mempunyai makna luhurnya budi pekerti, teladan, memiliki karakter yang baik, berjiwa kstaria dan patriotik. Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa seorang wiraswastawan sejati selalu memegang etika sebaik-baiknya dalam berbisnis.Orang swasta yang berhasil mengumpulkan harta berlimpah, tidak dapat dikatakan sebagai wiraswastawan sejati, selama harta yang dikumpulkannya itu didapat dengan jalan yang tidak benar seperti kolusi, memeras, menipu, mafia-isme dan lain-lain aktivitas sejenis.Saya menemukan bahwa kadang-kadang terjadi salah pengertian tentang istilah “kewiraswastaan” yang merupakan terjemahan dari kata asing “entrepreneurship”. Ada pendapat bahwa kewiraswastaan tidak hanya terjadi dikalangan orang atau perusahaan swasta saja, tetapi juga ada dilingkungan perkoperasian, lingkungan pendidikan bahkan dilingkungan badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN). Oleh karenanya, “entrepreneurship” bukan monopoli kelompok perusahaan swasta saja. Maka kemudian timbul istilah “wirausaha” yang dianggap lebih universal dalam penerapannya. Gejala ini berlanjut lebih spesifik lagi dengan munculnya istilah “kewirakoperasian” untuk para aktivis koperasi.Saya berpendapat, istilah “wiraswasta” tidak hanya menunjuk kepada orang-orang dari kalangan perusahaan swasta. Sebagai istilah yang mewakili kata “entrepreneurship”, penggunaannnya sudah sangat universal, sehingga sebetulnya tidak perlu lagi direvisi. Secara etimologi, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Suparman Sumahamidjaya, arti kata wiraswasta bisa diuraikan lebih kurang sebagai berikut :wira = luhur, berani, jujur, ksatria.swa = sendiri.sta = berdiri.Jadi, maksud dari kata wiraswasta adalah, mewujudkan aspirasi kehidupan berusaha yang mandiri dengan landasan keyakinan dan watak yang luhur. Lebih spesifiknya, kaum wiraswastawan sejati adalah mereka yang berani memutuskan untuk bersikap, berpikir dan bertindak secara mandiri, mencari nafkah dan berkarir dengan jalan berusaha di atas kemampuan sendiri, dengan cara yang jujur dan adil, jauh dari sifat-sifat keserakahan dan kecurangan.Definisi di atas tidak membatasi bahwa wiraswastawan harus seorang yang menjalankan perusahaan milik sendiri. Dengan demikian kewiraswastaan berlaku di lingkungan manapun, termasuk koperasi, BUMN, pengusaha kaki lima, makelar bahkan di lingkungan karyawan sekalipun. Sebab apa? Karena kaum profesional yang status formalnya adalah seorang karyawan, pada hakikatnya merupakan seorang wiraswastawan juga, karena mereka bekerja dengan menjual “leadership”, atas dasar kemitraan bisnis yang adil dan saling menguntungkan, dan bukan atas dasar keinginan untuk “menumpang hidup” semata. Para distributor dari sebuah perusahaan multi-level-marketing, sebagaimana agen-agen asuransi, juga merupakan pribadi-pribadi yang berusaha secara mandiri dan mereka berwiraswasta. Beberapa perusahaan yang telah maju ternyata juga didirikan oleh para mantan karyawan yang memiliki naluri kewiraswastaan. Hal ini menguatkan bukti bahwa nilai-nilai kewiraswastaan memang ada dimana-mana. Hanya saja, kewirawastaan ada yang kelihatan secara jelas, ada yang tersembunyi.Betapa pun saya menyambut baik munculnya berbagai istilah alternatif, karena hal tersebut dengan sendirinya akan memperkaya khasanah kosakata bahasa Indonesia yang masih memerlukan pembinaan-pembinaan lebih jauh. Sebab itu, dalam situs ini akan dipergunakan istilah “wiraswasta” dan “wirausaha” secara silih berganti, agar tidak menimbulkan kejenuhan.Beberapa aktivitas yang memiliki kandungan nilai kewirausahaan, baik yang jelas maupun yang tersembunyi bisa dicontohkan sebagai berikut :1). Pengusaha-pengusaha “kantoran” yang menjalankan perusahaan milik sendiri atau bermitra. Baik dari kelas pengusaha besar, menengah ataupun kecil.2). Pengusaha-pengusaha seperti pedagang kaki lima, warung nasi, restoran, toko klontong, bengkel, salon dan lain-lain.3). Pengusaha candak kulak, seperti bakul jamu, tukang bakso pikul/grobak, dan lain sebagaiya.4). Pengurus dan anggota-anggota koperasi.5). Tokoh-tokoh pemasaran, seperti para direktur dan manajer pemasaran, sales representative, business representative, salesmen/girl door to door.6). Para distributor multi-level-marketing serta para agen asuransi.7). Tokoh-tokoh profesi seperti dokter, pengacara, notaris, konsultan yang membuka praktik sendiri, sampai supir taksi.8). Mereka yang menjalankan bisnis sambilan, tanpa melecehkan pekerjaan utamanya sebagai karyawan.9). Para karyawan, yang sambil bekerja, berusaha mengumpulkan modal dan belajar untuk mempersiapkan diri menjadi pengusaha nantinya.10). Para makelar yang jujur.11). Kaum profesional yang menjual leadership pada perusahaan-perusahaan besar mulai dari yang menjabat sebagai presiden direktur, direktur atau manajer.12). Pekerja free-lance, instruktur-instruktur aerobik, pelatih olahraga yang bekerja waktu penuh.
Langganan:
Postingan (Atom)